Kebijakan pemblokiran ChatGPT di sekolah-sekolah Amerika Serikat menunjukkan kekhawatiran akan dampak teknologi terhadap pendidikan. Langkah ini bertujuan untuk menjaga kemampuan berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah siswa, yang dianggap krusial bagi kesuksesan mereka. Amerika Serikat, yang berada di peringkat ke-9 dalam literasi membaca berdasarkan PISA 2022, mengambil kebijakan ini demi mempertahankan kualitas pendidikan.
Di sisi lain, Indonesia yang berada di peringkat ke-70 dalam literasi, justru menggalakkan transformasi digital. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, mengupayakan berbagai strategi untuk meningkatkan skor PISA Indonesia, seperti menyediakan bantuan kuota internet bagi siswa dan guru, melatih guru melalui platform daring, serta menyediakan materi pembelajaran secara daring dan hybrid melalui saluran TVRI. Menurut Nadiem, transformasi digital adalah solusi untuk mengatasi krisis pembelajaran yang muncul akibat pandemi.
Namun, teknologi digital juga membawa tantangan. Kasus di Universitas A&M Texas, di mana seorang profesor menemukan seluruh tugas mahasiswanya dibuat menggunakan ChatGPT, menyoroti sisi negatif penggunaan AI. Sebagai guru di SMA Negeri 110 Jakarta, saya sendiri pernah menghadapi situasi serupa ketika menemukan jawaban ujian yang tidak biasa dari siswa, yang ternyata berasal dari ChatGPT. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah sebaiknya kita membatasi penggunaan gawai di sekolah, seperti yang dianjurkan UNESCO?
UNESCO, melalui laporan Technology in Education: A Tool on Whose Term? (2023), cenderung melarang penggunaan gawai di sekolah karena dikhawatirkan mengganggu proses pembelajaran. Pandangan ini berbeda dengan kebijakan pendidikan Indonesia yang berfokus pada transformasi digital. Menurut Nadiem, teknologi sangat dibutuhkan untuk mendukung sistem pendidikan di era pasca-pandemi. Platform seperti Merdeka Belajar, Rapor Pendidikan, Akun Belajar.id, dan PMM menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk mendorong kemajuan pendidikan digital di Indonesia.
Sebagai guru, kita perlu menyikapi teknologi ini dengan bijak. Beberapa langkah yang bisa diambil meliputi:
- Pendidikan Digital yang Bijak:
Guru dan siswa perlu memahami bahwa teknologi memiliki kelebihan dan kekurangan. Teknologi memang membantu akses informasi, tetapi dapat membuat siswa kurang termotivasi untuk berpikir dan berkreasi. - Pengelolaan Gawai di Kelas:
Guru bisa mengatur penggunaan gawai di kelas. Misalnya, meminta siswa menyimpan ponsel saat guru menjelaskan, lalu mengizinkan penggunaan gawai saat sesi diskusi atau tugas mandiri. Ini membantu mengurangi distraksi saat pembelajaran berlangsung. - Evaluasi Berbasis HOTS (Higher Order Thinking Skills):
Guru disarankan untuk memberikan soal dan evaluasi yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, seperti wawancara, diskusi, atau debat. Metode ini tidak hanya menguji pemahaman tetapi juga mengasah keterampilan berpikir kritis siswa, yang tidak dapat diimitasi oleh AI.
Transformasi guru dalam menghadapi Gen-Z berarti mengembangkan metode pembelajaran yang adaptif, mengintegrasikan teknologi secara bijak, dan tetap mengutamakan pembelajaran yang mendorong kemampuan berpikir kritis. Dengan strategi ini, siswa Gen-Z diharapkan dapat memanfaatkan teknologi tanpa melupakan keterampilan berpikir yang akan membantu mereka menghadapi tantangan masa depan.
Penulis:
David Fernando Purba, S.Pd., M.M.
Tanggal Pengiriman:
07 November 2024
Lisensi berkas:
Attribution-NonCommercial-NoDerivs 4.0 International