Artikel : Yang Tersisa Dari Mereka (FLS3N 2025) - Repositori Digital SMA Negeri 110

Artikel : Yang Tersisa Dari Mereka (FLS3N 2025)

Artikel ini adalah cerpen berjudul: "Yang Tersisa Dari Mereka" yang dibuat
oleh Nathania Eka Pangesti dalam rangka mengikuti event FLS3N 2025.



"Aku mimpi tubuhku dipenuhi serpihan plastik. Mereka nempel di darahku, otakku, bahkan sampai semua organ yang ada di tubuhku. Dan aku nggak bisa ngomong... mulutku seperti terkunci," ucap seorang siswi SMA.

"Itu... cuma mimpi aja, kan?" Temannya menatap siswi tersebut dengan perasaan cemas.

Di bawah sinar lampu kantin sekolah, kulitnya tampak seperti berlapis debu halus. Siswi itu memandangi tangannya sendiri yang mulai menggigil karena merasa ketakutan akan mimpinya.

"Aku nggak tau. Tapi kayaknya tubuhku beneran akan berubah."

Siswi SMA tersebut sangat dikenal aktif di sekolahnya. Namun, banyak guru-guru dan teman-temannya yang tidak menyukainya. Ia membuat komunitas kecil di sekolah yang bernama "Bumi Tanpa Plastik", dan menurut mereka hal yang dilakukan dirinya cukup aneh.

"Fira, lu kira kita selama ini ga butuh plastik?" ucap seorang siswa yang menentang pendapatnya saat ia sedang menyampaikan penjelasan tentang bahaya plastik.

Ya, namanya Fira. Siswi yang aktif dalam isu lingkungan dan selalu memimpin kampanye akan peduli lingkungan di sekolahnya, salah satunya mengurangi pemakaian plastik. Bahkan, ia membuat petisi agar kantin sekolahnya tak lagi menggunakan plastik.

"Plastik itu sangat berbahaya! Plastik bisa meracuni air, tanah, udara, dan bahkan diri kita!" serunya.

Semua yang mendengarkan hanya tertawa.

"Gimana caranya plastik bisa ngeracunin kita? Aneh lu. Udah, bubarin aja komunitas gak penting ini."

Fira sempat merasa kecewa karena kebanyakan teman-temannya menolak ajakannya untuk hidup tanpa plastik. Memang tak semua guru juga menyukai opininya, karena dianggap akan menyusahkan dan lain sebagainya. Tapi tak ada yang menyangkal bahwa Fira adalah murid yang cerdas dan penuh semangat.

Ia bercita-cita menjadi ahli bioteknologi yang bisa menciptakan pengganti plastik dari rumput laut. Semangatnya yang luar biasa akan tetap mengalahkan rasa kecewanya itu.

***

Fira dipilih oleh sekolahnya untuk mengikuti lomba inovasi lingkungan. Ia berhasil memenangkan sampai tingkat provinsi dan akan mengikuti jenjang berikutnya---yaitu tingkat nasional.

Namun, dua minggu sebelum lomba inovasi lingkungan tingkat nasional yang akan membawanya ke Jepang jika menang, Fira mulai jatuh sakit. Awalnya hanya batuk kering dan mual. Tapi gejalanya semakin berkembang cepat. Muncul ruam kemerahan di kulit Fira, mimisan, dan bahkan dirinya merasa sesak napas.

Wajahnya yang dulu penuh semangat mulai tampak pucat. Ia kerap tertidur di kelas dan pernah sempat pingsan saat sedang presentasi. Orang tuanya yang merasa cemas, malam itu juga, Fira dibawa ke rumah sakit untuk mengetahui apa penyakitnya.

Dokter awalnya mengira itu termasuk reaksi dari alergi atau efek kelelahan. Tapi, serangkaian tes laboratorium mengungkap sesuatu yang tak masuk akal. Beberapa fragmen mikroplastik ditemukan dalam darah, air liur, bahkan sumsum tulangnya.

"Apa ini kontaminasi alat?" tanya ibunya saat bertemu dokter.

Tapi, dokter menggeleng dan menjelaskan, "Kami ulangi di dua lab berbeda. Hasilnya sama. Fira mengandung plastik dalam jumlah tak wajar."

Keluarganya terpukul. Bagi Fira, kenyataan itu membuat dirinya sangat kecewa dan berpikir, "Aku yang paling keras menolak plastik. Tapi ternyata aku, udah jadi plastik itu sendiri."

Hasil pemeriksaan menjelaskan bahwa sejak bayi, Fira terpapar mikroplastik secara ekstrem. Ibunya mengaku, bahwa ia sering mengonsumsi banyak makanan instan. Sehingga, air susunya mengandung banyak mikroplastik.

Pernyataan lain, Fira terlalu banyak menghirup udara yang tercemar karena tempat tinggalnya di dekat pabrik plastik saat masih balita. Akhirnya, plastik masuk ke jaringan organ, hingga menimbulkan peradangan kronis dan mengganggu fungsi imun serta neurologis pada tubuhnya.

Penyelidikan medis mendalam dilakukan. Dokter spesialis dari luar negeri berdatangan. Fira masuk berita lokal hingga nasional, yang membuat semua orang penasaran akan penyakit yang dialaminya. Para peneliti juga menyimpulkan hal yang sama. Bahwa sejak bayi, Fira terpapar mikroplastik dalam jumlah yang cukup tinggi. Yang kemungkinan besar dari air minum botolan, ASI yang tercemar, makanan instan, dan udara bahkan air yang tercemar.

Karena mutasi genetik langka, tubuh Fira tak membuang partikel plastik itu, melainkan menyimpannya, menyerapnya, dan yang paling berbahaya adalah menyatukannya dengan jaringan organ.

Dalam hasil penelitian, lambungnya memiliki lapisan film polietilena---dari makanan instan yang dikonsumsi sedari dulu, yang seharusnya tidak bisa dijadikan sebagai bungkus makanan. Ginjalnya juga dipenuhi dengan serpihan PET. Di otaknya, ditemukan partikel mikroplastik yang menghambat sinaps pada saraf otaknya.

Dan karena itu, tubuhnya tak bisa lagi menjalani proses biologis normal. Sel-sel pada tubuh Fira berubah. Ia bukan lagi sepenuhnya manusia, melainkan plastik.

"Kita harus realistis. Kalau dia meninggal, tubuhnya tak bisa dikubur atau dikremasi. Risiko pencemaran lingkungannya sangat tinggi, bisa mencemari tanah dan udara," ucap salah satu dokter.

"Lalu, apa yang harus kami lakukan?" tanya ayahnya.

"Fira bisa diawetkan. Sebagai peringatan bagi dunia dan juga sejarah. Bukti bahwa plastik telah menjadi bagian dari kita."

Fira tak marah mendengar itu. Ia justru tertawa kecil, miris melihat dirinya yang sekarang.

"Kalau tubuhku bisa bikin semua orang berhenti memakai plastik, mungkin itu cukup."

Tubuh Fira semakin melemah. Semakin lama, semakin banyak gejala-gejala yang dialami dirinya. Di hari-hari terakhirnya, Fira menulis surat.

"Jika tubuhku tak bisa kembali ke tanah, maka biarkan ia berdiri. Dilihat. Diingat. Supaya semua orang tahu, bahwa plastik bukan sekadar bungkus. Ia hidup di dalam kita, sampai kita mati. Dan dalam jumlah yang banyak."

Ya, Fira dinyatakan meninggal, pada usia 17 tahun, di ruang perawatan khusus yang dikelilingi oleh kamera pemantau suhu dan kelembapan.

Tubuhnya diawetkan dalam kapsul kaca besar, di sebuah ruangan museum lingkungan modern. Ia tampak seperti sedang tidur, mengenakan seragam sekolah yang telah dibersihkan dan dibekukan. Wajahnya terlihat damai.

Di bawah kapsul itu, terdapat sebuah plakat kecil yang bertuliskan:
"Fira Chintya - Manusia Mikroplastik Pertama. Tubuhnya bukan hanya diawetkan. Tapi sebagai peringatan untuk dunia."

Ribuan orang datang untuk mengunjungi museum tempat Fira diawetkan setiap tahunnya. Beberapa menangis, beberapa hanya terpaku, beberapa selfie untuk upload di media sosial, dan beberapa hal lainnya---mulai berubah.

Pada suatu hari, seorang anak kecil berdiri menatap kapsul Fira cukup lama. Ia sedang memegang botol plastik.

"Ibu... kalau aku minum dari botol ini terus, apa aku juga bisa jadi kayak dia?" katanya pelan.

Sang Ibu yang sebelumnya tak pernah terlalu peduli dengan isu lingkungan, meremas botol itu dan memasukkannya ke dalam tempat sampah. Lalu menggandeng anaknya pergi, tanpa berkata apa-apa. Setelah itu, ia membelikan tumbler stainless kecil untuk anaknya.

Terkadang, perubahan tidak selalu datang dari demonstrasi atau kebijakan pemerintah. Tapi, perubahan bisa lahir dari suatu tragedi yang nantinya menjadi simbol. Bahwa dari satu tragedi yang buruk itu, bisa menggerakkan banyak orang untuk berubah.

Pengirim:
Nathania Eka Pangesti
Siswa kelas X-E, tahun pelajaran 2024-2025
NIS/NISN: 10825/0091591306

Tanggal Pengiriman:
19 Juni 2025

Tautan berkas:
Yang Tersisa Dari Mereka

Lisensi berkas:
Attribution-NonCommercial-NoDerivs 4.0 International